topbella

Selasa, 04 Oktober 2011

Membangun Kesejahteraan Kesehatan Masyarakat Indonesia


Ditulis oleh  Asiandi

Mengingatkan kembali kepada Presiden RI ke-6 yang terpilih pada 4 Oktober 2004 lalu, bahwa pembangunan kesehatan masyarakat mendatang bukan hanya sekedar program biaya pengobatan yang terjangkau rakyat sebagaimana pernah dijanjikan pada debat capres. Visi ini masih terlalu dangkal jika dibandingkan dengan cita-cita reformasi bidang kesehatan di mana telah ditetapkan bahwa Visi Pembangunan Kesehatan adalah ingin mencapai penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluaruh wilayah RI.
Pelayanan kesehatan yang bermutu dimaksudkan adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan serta diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika pelayanan profesi. Wujud nyata visi tersebut harus berupa pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau dengan mengikutsertakan sebesar-besarnya peran aktif segenap anggota masyarakat dan swasta.
Visi tersebut menurut William C. Hsiao (2000) merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam sistem kesehatan, yaitu: good health for all citizens, financial risk protection for all, equal access for everyone to quality health care, and satisfaction of the people. Di Indonesia salah satu strategi pelaksanaan cita-cita ini adalah dengan memantapkan kemandirian masyarakat yang seluas-luasnya dalam peran serta pembiayaan kesehatan.
Tulisan ini selanjutnya akan menguraikan tentang urgensi peran pemerintahan dalam mewujudkan kesehatan bagi seluruh masyarakat, memberikan perlindungan terhadap risiko finansial dalam bentuk asuransi kesehatan, akses yang sama bagi setiap warga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas, dan mewujudkan kepuasaan bagi masyarakat tersebut.

Kesehatan bagi Semua

Kita menyambut dengan gembira lahirnya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah ditetapkan DPR RI periode 1999-2004 pada tanggal 28 September 2004 yang lalu. Mengingat undang-undang ini adalah dimaksudkan agar dapat terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satunya adalah melalui program jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan mekanisme Asuransi Sosial, yang diselenggarakan berdasarkan prinsif ekuitas (Pasal 10). Pemerintah mempunyai tugas berat untuk melaksanakan program ini dengan sekuat upaya untuk mencapai cost-effective way (suatu cara mencapai efisiensi dan kualitas).
Hal yang mesti diingat oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan sosial tersebut dapat terwujud --menurut pandangan ekonomi kesehatan?apabila tercapai kepuasan maksimal yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat. Lebih jelas Hsiao (2000) menjelaskan bahwa kepuasan maksimal terhadap pelayanan kesehatan akan tercapai apabila terpenuhinya level absolut dan distribusi status kesehatan, adanya perlindungan risiko finansial (asuransi), serta kepuasan konsumen (masyarakat).
Level absolut adalah indikator kesehatan yang dapat dilihat berdasarkan angka-angka, misalnya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup (tiga kali lipat AKI di negara-negara ASEAN). Padahal target yang ingin dicapai pada tahun 2005 adalah kurang dari 125 per 100.000 kelahiran hidup dan 75 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Indonesia Country Report 2004). Angka ini masih jauh dari yang diharapkan menurut ketetapan Konfrensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo 1994. Sedangkan distribusi maksudnya adalah tersebarnya pelayanan kesehatan ke seluruh wilayah dan terjangkau oleh seluruh anggota masyarakat, sehingga setiap orang akan memperoleh kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan (prinsif ekuitas).

Restrukturisasi Sistem Kesehatan

Sarana yang digunakan untuk mencapai fungsi sistem kesehatan tersebut adalah komponen struktural sistem kesehatan. Hsiao (2000) mengusulkan perlunya upaya restrukturisasi terhadap 5 (lima) komponen utama yang akan berdampak pada hasil.
Pertama, restrukturisasi keuangan (financing). Keuangan atau anggaran merupakan komponen struktural utama yang akan mempengaruhi hasil karena dapat berdampak pada pendistribusian status kesehatan dan kemampuan pembiayaan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan upaya memobilisasi dana bagi pelayanan kesehatan yang salah satunya melalui dana asuransi kesehatan untuk masyarakat luas.
Pengalokasian dana hanya diperlukan terhadap pelayanan kesehatan tertentu. Pelayanan kesehatan apa yang akan didanai ditentukan berdasarkan cost-effectiveness dalam memproduksi hasil kesehatan. Subsidi hanya diberikan untuk kepentingan pendidikan kesehatan, pembangunan sarana kesehatan, dan untuk keperluan riset yang berpengaruh terhadap peningkatan pengadaan pelayanan kesehatan berkualitas. Sebab dengan adanya perubahan dan peningkatan dalam pengadaan (supply) pelayanan kesehatan akan mempengaruhi status kesehatan, kepuasan masyarakat, efisiensi dan penggunaan pelayanan kesehatan.
Hal penting lainnya adalah perlunya upaya penataan institusional terhadap finansial pelayanan kesehatan. Finansial dapat diorginisasikan dan ditata melalui monopoli atau kompetisi. Sebagai contoh, mungkin diperlukan pemikiran oleh pemerintahan suatu bentuk asuransi yang diatur oleh pemerintah (centered-planning) seperti yang dijalankan oleh pemerintahan Taiwan (Republic of China) sejak tahun 1995 dan telah membuktikan cakupan kepesertaan 96 persen populasi pada tahun 1999 saja. Sehingga sekarang ini hampir setiap warga masyarakatnya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kesempatan yang sama dan dengan biaya yang jauh lebih murah pada tingkat distrik atau langsung ke tingkat pusat (rumah sakit terbaik dengan teknologi kesehatan yang tinggi).
Taiwan memulai sistem asuransi kesehatan nasional (National Health Insurance ? NHI) pada bulan Maret 1995 dengan pendapatan (revenue) yang dikumpulkan dari pajak sebesar 4,25 persen, dengan kontribusi dari pemerintah, perusahaan dan tenaga kerja masing-masing sekitar 28 persen, 32 persen dan 40 persen. Dalam pelaksanaannya bukan tanpa kendala, Taiwan menghadapi beberapa tantangan penting. Di antaranya, NHI tidak berhasil meningkatkan pendapatan (revenue) untuk memenuhi pembiayaan, artinya NHI kekurangan akuntabilitas finansial. Revenue yang berasal dari premi asuransi hanya meningkat 3 persen pertahun sejak tahun 1996, sehingga pada tahun 1999 NHI rugi NT$ 11,4 Milyar (NT$ = New Taiwan Dolars) dan terus merugi hingga NT$ 2 Milyar per bulannya pada tahun 2000. Tapi akhirnya setelah 8 tahun implementasi angka premi meningkat dari 4,25 persen menjadi 4,55 persen pada September 2002. Meskipun pembiayaan juga meningkat karena adanya peningkatan jumlah usia lanjut dan adaptasi terhadap teknologi medis baru (Yaung & Chiang, 2004).
Memang menurut Sulastomo (1997) program asuransi kesehatan nasional hanya baik diterapkan untuk negara dengan pendapatan tinggi di mana kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan sudah tidak ada/berkurang. Namun dengan platform finansial yang baik?dan dengan political will yang kuat?akan memungkinkan pelaksanaan sistem asuransi dengan cara centered-planning seperti yang dilakukan Taiwan, tentu saja dengan tidak meniru sepenuhnya apa yang telah dilakukan oleh Taiwan.
Kedua, restrukturisasi organisasi makro melalui penggorganisasian pasar seperti membagi fungsi pelaksanaan pelayanan kesehatan pada bagian terkecil untuk alasan efisiensi dan kualitas (misalnya home care, pusat rehabilitasi dll) yang terintegrasi secara vertikal.
Ketiga, memilih sistem pembayaran (payment system) yang tepat kepada pemberi pelayanan kesehatan (provider). Misalnya pada asuransi munggunakan konsep tarif paket (package tariff) seperti dikembangkan PT Askes atau konsep kapitasi (capitation-concept) untuk mencegah dampak over utilization atau unnecessary-utilization pelayanan kesehatan (Sulastomo, 1997).
Keempat, diperlukan regulasi dengan coercive power dari pemerintah melalui instrumen undang-undang dan peraturan seperti UU SJKN baru-baru ini dan ketentuan undang-undang lain yang mewajibkan setiap orang untuk melindungi dirinya dengan asuransi kesehatan. Regulasi ini akan efektif apabila terbukti desain dan cara pelaksanaannya memang baik (good design and wording) dan pemerintah sanggup melaksanakan dan menegakkan regulasi tersebut.
Kelima, diperlukan upaya edukasi, informasi dan persuasi untuk mempengaruhi keyakinan, harapan, gaya hidup dan pilihan masyarakat. Untuk sektor kesehatan upaya ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang profesional di bidangnya
Kesimpulan
Dengan melaksanakan reformasi dan restrukturisasi pada salah satu determinan sistem kesehatan nasional tersebut (determinan ekonomi) secara bijaksana ? di samping determinan politik dan budaya-- pelaksanaan pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia bukan lagi hanya mimpi tapi dapat menjadi kenyataan di masa-masa yang akan datang dengan mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan, memberikan jaminan terhadap risiko finansial (asuransi kesehatan), memberikan kesamaan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memenuhi kepuasan bagi seluruh masyarakat dalam menerima pelayanan kesehatan.


\Daftar Pustaka
[1] Hsiao, W. C. 2000, Toward a theoretical model of health systems, Work in Progress, Harvard School of Public Health.
[2] Sulastomo. 1997, Asuransi kesehatan dan managed care, Jakarta, PT Asuransi Kesehatan Indonesia.
[3] Yaung, C. L., and Chiang, T. L. 2004, Challenges of social health insurance: Comparative perspective from Taiwan, In International Confrence on "Comparative Health Policy and Reforms in East Asia" 7 - 8 September 2004, Singapore

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
ADHE YULIAN P
aku adalah............
Lihat profil lengkapku